Ketika ia kecil, ia selalu berdiri di depan kaca dan mengeluhi dadanya yang rata. Setiap pagi ia menyumpal dadanya dengan kaus kaki, sehingga terlihat lebih besar. Sesampainya di sekolah, semua murid laki-laki menoleh ke arah dadanya yang besar disumpal kaos kaki. Ia pun tersenyum bangga karena semua orang percaya dengan kebohongan kecil yang berhasil dibuatnya.
Sepuluh tahun kemudian, ia duduk di mobilnya sambil menunggu jam pulang kantor. Setelah alarm berbunyi, ia keluar dari mobilnya dan berjalan menuju tempat tinggal sahabatnya. Ia memasuki rumah dan menyapa empat orang temannya yang juga memakai baju kantor. Mereka menghabisnya sore yang melelahkan dengan membagi cerita tentang keseharian mereka sebagai orang kantoran yang sukses, ditemani dengan sebotol anggur merah dan selinting ganja. Obrolan mabuk yang selalu menjadi ajang pamer di antara mereka selalu berjalan seru. Pembicaraan mengenai gaji dan tawaran promosi sudah menjadi topik sehari-hari mereka. Tetapi malam itu ia hanya duduk diam sambil sesekali ikut tertawa, hanya untuk meramaikan suasana.
Ia kembali ke apartemen kecilnya dan merebahkan tubuh di kasur. Ia menatap langit-langit sambil menyulut rokok mentholnya. Air mulai menggenang di kedua matanya, lalu tumpah ke segala penjuru. Ia menangis, menggerung, dan berteriak menyesali hidupnya. Tawa yang ia kumandangkan tak jarang bertentangan dengan isi hatinya. Kemandirian yang ia pamerkan kepada teman-temannya adalah pemberian keringat orang tuanya. Pekerjaan tetap yang ia banggakan ternyata hanyalah sebuah kedok untuk dipandang tinggi oleh orang-orang di sekitarnya. Padahal penghasilan pokok yang ia terima adalah hasilnya bekerja di sebuah restoran di malam hari.
Sekarang ia menangisi kebohongan-kebohongan yang melekat erat di tubuhnya. Ingin rasanya ia menelanjangi atribut-atribut itu dan melangkah ke depan dengan kebenaran.
Walaupun dengan dada rata.
Friday, February 15, 2008
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment